Kamis, 15 Agustus 2019

Bapak Sakit Hepatitis B Kronis, Haruskah Ikhlas Berhenti Berusaha?

Ikhlas Ayah Sakit Hepatitis B Kronis, Haruskah Berhenti Berusaha? Sakit. Sudah jadi ketetapan. Rahasia Tuhan. Tua muda, miskin kaya, semua dapat giliran. Harus ikhlas menerima. Harus sabar menjalaninya.


Apapun itu. Penyakit ringan atau berat. Sekedar batuk pilek atau penyakit serius. Penyakit berat seperti hepatitis sekalipun. Harus diterima.

Ya pasti. Mau tidak mau. Siapa yang bisa menolak. Siapa yang bisa lari dari takdir. Ketetapan Tuhan. Tak satupun.

Penyakit hepatitis B, katanya, banyak diderita oleh kalangan ekonomi lemah. Katanya tidak ada obatnya. Tidak bisa disembuhkan.

Mau bagaimana lagi. Sedang diuji. Sedang diingatkan. Penyakit hepatitis b atau liver ini tak bisa dihindari. Harus dihadapi. Oleh yang sakit. Atau keluarga yang sakit.

---oOo---

Langit hitam. Gemericik hujan masih membasahi semesta bumi. Angin yang pelan masih menusuk ke tulang. 

Sore. Jam lima sepuluh menit. Langit menangis. Deras. Melarutkan debu jalanan. Membasahi pelataran.

Kusut. Pria 30 tahunan duduk mendekap kaki. Matanya menelisik ngerimis. Sinar matanya mengejar rintik hujan. Bagai tangan menyergap.

Di tangan kirinya. Hp android. Tipe samsung. Berkedip. Berkedip. Berdering semakin nyaring.
"Mas... bapak ngedrop lagi...", suara di seberang telepon terdengar nyaring.
"Ngedrop.... enggak mau makan lagi ya?", tanya pria itu cepat.

"Iya... ", jawab suara itu.
"Ya sudah mas segera ke sana..."

Seketika hati berubah gusar. Ini yang kesekian kalinya. Kondisi tubuh bapak drop. Awalnya mengeluh perutnya panas. Pungung sedikit nyeri.

Mulai tak mau makan. Kemudian lemas. Mata selalu terpejam. Seperti tidur. Tapi tak tidur.
Kalau sudah begitu keluarga tak bisa berbuat banyak. Bingung.

"Ya Alloh... mau bagaimana ini..."
"Apa kita bawa ke rumah sakit lagi Bu...?

"Kamu kan ingat. Ucapan dokter gimana..."
"Iya sih.... tapi apa kita biarkan seperti ini saja. Pasrah tanpa usaha?"

Suasana hening. Ruangan menjadi sangat dingin. Semua tegang. Cemas dan bingung.
"Seandainya saja kita punya cukup uang..." ujar pria itu lirih. 

Waktu bergulir lambat di rumah itu. Tak ada sedikitpun cahaya yang masuk. Suram, seperti suasana hati seluruh penghuninya.

"Kakang drop lagi apa yuk?"
"Ya itu... seperti itu. Dari kemarin."
"Kayak minggu kemarin... antara sadar dan tidak..."

"Sabar yuk.... kakang sudah seperti itu. Udah dibawa kemana-mana tapi enggak ada perubahan sama sekali...."

Dua hari. Berlalu dengan sangat berat. Kegundahan itu semakin tak tertahan. Semua keluarga gusar melihat perubahan kondisi bapak.

"Kita bawa ke rumah sakit lagi..."
"Bawa bagaimana.... sadar aja tidak"

"Kasihan bapak...."
"Sudah... kita cari mobil saja... siapin berkas-berkasnya"
"Enggak ada mobil yang bisa dipakai mas...."
"Sabar... istighfar.... bapak sudah seperti itu. Kasihan. Di ikhlaskan saja. Kita rawat di rumah saja."

---oOo---

Dada itu bergemuruh. Keringat dingin mengalir. Mencoba menutupi hati yang terbakar. Ada bara api yang memancar dari sorot itu. Amarah.

"Ikhlas.... bicara ikhlas ya pasti ikhlas. Tapi manusia kan wajib ikhtiar. Berusaha sekuat tenaga." Pria itu menghela nafas dalam-dalam. 

"Apa mau didiamkan begitu saja. Ditunggu sampai mati sendiri...!" Tak ada yang bisa menyahut. Semua diam. Membisu.

---oOo---
Previous Post
Next Post
Related Posts

0 komentar: