Senin, 12 Agustus 2019

Pemeriksaan Laboratorium Cairan Perut Adenosine Deaminase (ADA) Ascites

Pemeriksaan Laboratorium Cairan Perut Adenosine Deaminase (ADA) Ascites, diagnosa awal penyakit Hepatitis B yang menghancurkan kebahagiaan. Sibuknya kota tak sesibuk keluarga bapak. Sedang berjibaku.
Pemeriksaan Lab Cairan Perut Adenosine Deaminase (ADA) Ascites
Pemeriksaan Lab Cairan Perut Adenosine Deaminase (ADA) Ascites
Berjuang demi kesembuhan. Untuk penyakit yang telah merenggut kebahagiaan. Melangkah ke tahap berikutnya, untuk diagnosa penyakit hepatitis b.

"Siapkan berkas-berkas yang dibutuhkan. Segera ke rumah sakit rujukan." Ucap istri beliau. Memberi perintah pada anak - anaknya.

"Apa saja yang dibutuhkan. Kita kan tidak tahu?", sahut salah satu anaknya. "Yang jelas rujukan kemarin. Dengan berkas-berkas bapak... Pokoknya semua dibawa saja..." Lanjut yang lain.

"Mas... surat rujukan rumah sakit kemarin kan belum dilegalisir. Belum dicap. Jadi enggak bisa langsung berangkat besok."

"Bisa mampir dulu sebentar minta cap terus langsung berangkat?"
"Enggak bisa mas. Pasti kesiangan. Jam delapan pasti baru buka... Sampai sana mau jam berapa?"

"Ya sudah. Besok minta stempel dulu. Baru esoknya kita berangkat.

Bapak tidak bisa berangkat langsung. Kemarin sudah terlalu sore. Dokter hanya memberi rujukan. Belum dicap, dilegalisir oleh BPJS.

Bapak adalah pasien BPJS. Tidak bisa berjalan sendiri tanpa persyaratan itu. Kecuali ia mau berobat mandiri. Dengan biaya sendiri. Yang tidak dimiliki.

Dua hari berselang. Sesuai saran dokter. Bapak berobat ke rumah sakit umum propinsi. Berekal kartu bpjs. Berharap segera ada kejelasan penyakitnya.

Hari pertama ke rumah sakit propinsi. Hampir sama. Bertemu dokter. Ditanya ini itu. Diberi resep dan pulang dengan obat yang banyak.

Dokter tak menyinggung sama sekali mengenai penyakit yang diderita. Menjelang magrib, bapak pulang dengan perasaan sedikit lega. Ada harapan baru di rumah sakit yang lebih besar itu.

---oOo---

Kamis. Bapak berobat lagi. Kunjungan kedua. Konsultasi dengan dokter spesialis. "Bapak harus rawat inap", dokter mengambil keputusan.

Tepat tengah hari. Bapak, dan kedua orang anaknya keluar dari poli penyakit dalam. Menunggu di lobi ruang untuk pindah ke ruang rawat inap.

Duduk di bangku ruang tunggu. Bapak duduk di kursi. Anak perempuannya duduk di samping kirinya.

Di bagian kiri lagi. Anak laki-laki bapak tampak duduk. Berjongkok. Bersandar di tembol yang berada tepat dibelakangnya. Ia jongkok menghadap bapak dan anak perempuannya.

Sorot matanya kosong. Tampak rasa khawatir yang begitu dalam. Ada kepedihan yang tergambar dalam gurat-gurat wajahnya.

Sesekali ia meremas tangannya. Menatap ke arah adiknya yang berada disisi sang ayah.

"Sudah lama... kenapa tidak dipanggil - panggil"
"Mungkin belum..."
"Coba tanya dulu mas... Sudah hampir dua satu jam kita menunggu"

Pria itu bangkit. Ia lalu masuk ke ruang perawat. Bertanya kapan bapak bisa pindah ke ruangan. "Sabar ya pak. Ini lagi disiapkan ruangannya." Salah satu perawat memberikan jawaban.

Menunggu. Mereka pun harus menunggu. Tidak ada lagi yang bisa dilakukan.

Waktu berselang. Bapak tak juga kunjung dipindahkan ke ruang rawat. Sekali lagi, anaknya masuk ke ruang perawat. Kali ini anak perempuannya. Yang tampak sudah sangat tak sabar.

"Bagaimana pak... Sudah bisa pindah ke ruangan belum?"
"Siapa Bu... Oh, bapak ya... Sebentar ya. Ini sedang dicek ruangannya"

"Oh... begitu. Minta tolong supaya cepat ya pak. Kasihan bapak sudah lama nunggu..."
"Iya bu... Sebentar lagi ya. Saya cek lagi. Silahkan tunggu di depan"

Kurang lebih, dua jam berlalu. Bapak akhirnya di antar ke ruang rawat inap. Di bagian ujung rumah sakit daerah tersebut.

Sesampainya di ruangan tersebut, perawat yang menghantar langsung berpamitan. Meninggalkan bapak dan keluarganya di lorong ruang rawat inap.

Ia berpesan agar menemui perawat disana. Anak bapak segera ke ruang perawat. Menanyakan ruangan untuk bapak.

"Bapak pakai bpjs kelas berapa?", tanya salah satu perawat disana.
"Kelas II pak..." jawab putra bapak

"Maaf pak... ruangannya penuh. Jadi harus menunggu dulu di lorong", jawabnya lagi.
"Ha... menunggu. Menunggu bagaimana?", ucap putra beliau
"Ya menunggu sampai ada ruangan kosong..."

"Waduh pak... enggak bisa begini dong. Masak pasien sakit ditaruh di lorong begitu saja. Masa tidak bisa diusahakan..."

"Ya mau bagaimana lagi. Untuk ruangan bapak memang penuh. Yang ada di kelas 3. Ibu silahkan cek dulu ruangannya..."

Anak lelaki bapak langsung keluar. Melihat ruangan kelas 3 yang dimaksud perawat. Ia mendapati satu ruang yang diisi dengan 4 pasien. Atau lebih.

"Enggak bisa pak... ruangannya seperti itu.... Terlalu ramai" ucap putra beliau, "satu ruang ada empat pasien" lanjutnya sambil menoleh ke arah adiknya.

"Lalu bagaimana ini pak. Apa tidak bisa diusakan. Di ruangan lain?"

"Gimana ya. Kalau disini ya itu tadi. Tapi kalau ibu mau bisa ke ruangan lain. Bukan di ruang ini. Ibu bisa cek sendiri ke sana. Siapa tahu ada ruang kosong..."

"Gimana pak... cek sendiri. Apa tidak bisa dihubungi dari sini saja. Minta tolong lah pak.... Masak kita harus mondar mandir membawa pasien yang sudah seperti itu?"
"Ya sudah. Tunggu sebentar. Saya tanyakan dulu..."

Selang beberapa menit. Perawat disana kemudian memanggil anak perempuan beliau.

"Ada ruangan kosong bu. Silahkan bapak di bawa kesana. Bilang saja disuruh saya. Pak Bambang"
"Oh... baik kalau begitu pak. Terima kasih banyak ini sudah merepotkan..."

"Iya... jangan sampai lupa. Bilang disuruh saya. Kalau tidak pasti tidak boleh"
"Siap pak. Terima kasih banyak..."

Mereka pun langsung bergegas. Pergi ke ujung lain rumah sakit itu. Ke ruangan yang telah ditanyakan tadi. Mondar - mandir. Mereka tanya kesana ke mari.

Sampai akhirnya tak sia-sia. Beliau mendapatkan ruangan yang layak. Tidak terlalu sumpek. Hanya dua orang dalam ruangan tersebut. Kebetulan juga yang satu baru saja pulang.

Sore hari. Di ruang rawat, suster langsung melihat kondisi pasien. Agar esok dokter lebih mudah untuk mendapatkan informasi yang diperlukan tentang pasiennya.

---oOo---

Pagi hari. Suasana mulai sibuk. Tim kebersihan menguasai lokasi. Semua diusir. Kecuali pasien dan satu anggota keluarga.

Sebentar lagi dokter masuk. Tidak boleh berantakan. Tidak boleh mengganggu.
Waktu yang ditentukan tiba. Jadwal dokter kontrol. Satu persatu pasien dilihat. Termasuk beliau.

Bapak mendapatkan giliran kedua. Dokter masuk ruangan. Dokter spesialis. Yang sama yang memeriksa bapak di Poliklinik Penyakit Dalam.

"Bagaimana dok?"
"Belum bisa dipastikan. Harus melalui serangkaian cek. Nanti kita ambil sampel yang dibutuhkan", jelas dokter.

Tiga empat hari, bapak mendapatkan perawatan. Hari berikutnya. Sampel dahak diambil. Cairan perut di lab. Di kirim untuk melihat lebih detail. Bapak pun diizinkan pulang.

---oOo---

Pagi cerah. Semalam turun hujan yang cukup lebat. Udara pagi dingin. Tapi lebih segar karena belum terlalu banyak asap kendaraan.

Seperti hari sebelumnya. Jadwal dokter kontrol pagi. Bapak bersiap. Menghadapi pertanyaan dan perkembangan penyakitnya setelah ditangani.

"Bagaimana keadaannya pagi ini Pak?"
"Sudah lebih baik dok..."

"Apa yang dikeluhkan?"
"Ya... perut dok. Masih terasa begah...."

"Oh... iya. itu karena cairan yang menumpuk. Bagaimana dengan makan, sudah enak?"
"Lumayan dok..."

"Bagus... bagus ini pak. Hari ini bapak bisa pulang. Rawat jalan pak... Nanti saya akan menjadwalkan konsul berikutnya."

Wajah beliau tampak tak berubah. Tetap datar. Dengan pandangan yang nanar. Istrinya, yang berdiri disisinya sedikit tersenyum. Terlihat ada sedikit kelegaan dari senyum kecilnya itu.

Setidaknya sudah boleh pulang. Walau belum sembuh total. Mungkin itu yang ada dipikirannya.

Dokter pun beranjak. Ke pasien berikutnya. Sejenak setelah itu, suara seseorang mengucap salam terdengar.

"Loh... kok ke sini... sama siapa?"
"Sama anak-anak. Sama Pakde..."

"Bawa mobil?"
"Iya mas... Bagaimana bapak"
"Ya pas kalau begitu. Bapak boleh pulang. Mungkin tengah hari nanti. Nunggu obat dulu..."

Siang itu, keluarga bapak datang menjenguk. Satu mobil. Mobil rental. Di isi anak-anak, cucu dan kerabat. Sejenak suasana ruangan beliau berubah menjadi ramai.

Semua tampak gembira. Ceria, kecuali beliau. Yang terdiam, menyembunyikan rasa cemas dan kesedihan yang dalam.

Sedang asyik berbincang. Seorang perawat datang ke ruangan.

"Keluarga...! keluarganya mana ini"
"Iya mbak...."

"Dipanggil dokter. Ke ruang perawat segera..."
"Baik mbak...."

Anak sulung beliau bergegas. Berjalan menuju ruang jaga. Di ikuti adiknya. Sesampainya di ruang jaga mereka langsung masuk.

oOo

"Dok..."
"Hem... begini. Bapak hari ini bisa pulang. Tapi disarankan untuk uji lab cairan dalam perutnya. Kalau bisa nanti juga kita sedot cairan diperutnya. Bagaimana?"

"Oh... iya dok. Tidak apa-apa. Yang terbaik menurut dokter..."
"Kalau begitu silahkan disiapkan botol aqua empat. Untuk tempat cairannya"

"Baik dok..."
"Untuk lab... Ini ada biaya yang harus ditanggung mandiri..."
"Berapa dok?"
"Satu juta. Kurang lebih..."
"Ya sudah... kita bersedia dok..."

Selesai diberi arahan mereka langsung kembali ke ruangan. Menyiapkan botol air minum yang sudah kosong.

oOo

Waktu berjalan pelan. Riuh ruangan rawat itu terdengar seperti tangisan dan jeritan yang meronta. Kegembiraan pada senyum tipis yang terlihat hanya semu. Menutupi getir, kesedihan atas keluarga yang ditimpa cobaan.

Sekitar lima belas menit berlalu. Dokter dan beberapa perawat masuk ke ruang bapak. Sejurus kemudian drama dimulai. 

Adegan pengambilan cairan perut begitu mengerikan, setidaknya dimata keluarga bapak. Dengan tenang sang dokter berusaha mengeluarkan cairan perut. Satu dua suntikan. Tak berhasil. 

Beberapa saat berselang, dokter memutuskan untuk hanya mengambil sampel cairan. Tidak bisa mengeluarkan semuanya, seperti yang direncanakan. 

"Cairan tidak berkumpul di satu tempat. Kita ambil sampel saja ya pak. Untuk di lab..." Beberapa suntikan berisi cairan perut segera di bungkus. Perawat kemudian membawa sampel itu ke ruangan. 

"Kita siapkan berkasnya. Setelah ini diantar langsung ya... Karena sampel harus segar..." perintah perawat pada keluarga beliau.

Siang itu, yang terik dan panas, pengobatan rawat inap bapak berakhir dengan uji sampel cairan perut. 

Pengobatan terus berjalan. Bapak dan keluarga terus berjuang. Tak peduli banyak yang mencibir. Tak peduli banyak yang sangsi. Terus, berusaha melawan penyakit itu. 

Beberapa hari berlalu, keluarga terus menunggu hasil lab cairan perut yang diambil. Akhirnya, hasil permeriksaan keluar. 

TUBERKULOSIS, Adenosine Deaminase (ADA) Ascites #, begitulah kurang lebih yang bisa diketahui dari hasil uji lab. 

Yang, menurut kesimpulan dari berbagai diagnosa, bapak positif hepatitis b. Liver, penyakit berat, bahaya. Yang banyak orang anak menyerah langsung ketika mendengarnya. 

---oOo---
Previous Post
Next Post
Related Posts

0 komentar: