Minggu, 11 Agustus 2019

Ascites, Perut Buncit Seperti Hamil Sembilan Bulan

Menderita ascites, perut buncit seperti hamil sembilan bulan - panggil saja beliau bapak. Lahir di keluarga religius. Menjalani hidup sederhana dan menghadapi hari tua yang berat. Menderita penyakit hepatitis b kronik. Dengan harapan sembuh yang sangat tipis.

Ascites, Perut Buncit Seperti Hamil Sembilan Bulan

"La ini lho... perut bapak kok malah tambah besar". Bapak duduk di lantai. Menghadap ke arah anaknya. Yang mengamati. Dan mendengarkannya dengan sangat serius.

"Ya sudah bu... di bawa ke rumah sakit saja. Jangan nunggu lama - lama."
"Iya... besok ke rumah sakit daerah saja." 
"Besok disiapkan surat-suratnya. Langsung berangkat."

Suasana sedikit tegang. Masing - masing sorot mata itu menggambarkan rasa takut. Was - was, khawatir. 

Esok harinya. Bapak langsung dibawa ke puskesmas. Bukan untuk berobat tapi untuk minta surat rujukan.

Maklum. Bapak adalah salah satu peserta BPJS. Ia harus membawa rujukan sebelum masuk rumah sakit yang lebih besar.

---oOo--- 

Pagi buta. Langit mendung. Gelap dan dingin. Jam 4, rumah bapak sudah ramai. Semagat, dengan harapan cepat sembuh. Bapak berangkat.

Di antar anaknya. Menggunakan mobil bagus. Mobil rental. Jam 6 pagi sampai. Di rumah sakit daerah.

Keluarga segera mengurus administrasi. Daftar nomor antrian. Menyiapkan berkas - berkas persyaratan pasien.

Menjelang tengah hari, ia bisa bertemu dokter. Dokter penyakit dalam. Yang mengatakan semua organ dalam bapak sehat. 

Bapak pulang sore. Hampir gelap. Membawa sekantong kresek obat.

Dua hari berselang. Obat diminum sesuai petunjuk. Bapak seperti linglung. Sempoyongan kala berdiri. Susah diajak komunikasi. Pengaruh obat, mungkin.

Obat terus diminum. Selang beberapa hari perutnya mulai kempis. Tidak besar. Seperti perut normal. "Alhamdulillah... mudah-mudahan bapak bisa lekas sembuh mas..."

"Iya.... semoga kempis ini karena penyakitnya sembuh. Buka karena yang lain."
Bapak semakin pulih. Makan enak dan perutnya tidak besar lagi.

---oOo---

Satu bulan, kurang lebih. Setelah obat habis. Bapak mulai merasakan tidak enak. Lebih tidak enak dari sebelumnya. Panas dingin. Banyak tidur dan sering lemas.

Suatu sore. Sekitar jam 5 menjelang malam. Handphone berdering nyaring. Nadanya semakin meninggi. Telpon darurat.

"Mas... perut bapak bengkak lagi..."
"Bengkak lagi....?"

"Ya sudah. Kita bawa lagi ke rumah sakit lagi..."
"Kapan?"

"Secepatnya. Kalau perlu besok!"
"Enggak bisa. Besok enggak ada jadwal dokter dalam. Adanya kamis"
"Ya sudah. Kamis."

Bapak dibawa lagi. Untuk ketemu dokter lagi. Hampir sama. Berangkat pagi buta. Diantar keluarga ke rumah sakit yang sama.

"Maaf mbak... hari ini tidak ada dokter penyakit dalam. Dokternya sedang cuti"
"Jadi... bagaimana bu...?"
"Ya tidak bisa berobat...."
"Terus... kapan dokternya masuk lagi?"
"Mungkin minggu depan... tapi belum pasti juga mbak..."

Cobaan pertama. Tidak bisa bertemu dokter. Padahal perut bapak sudah cukup besar. Darurat. Keluarga pun panik. Bingung. Takut.

"Masak harus pulang tangan kosong?"
"Ke rumah sakit lain saja... biar dapat obat"

"Tapi dokternya beda mas? Rujukannya juga tidak bisa dipakai dong?"
"Ya... bagaimana lagi. Apa pulang lalu kesini lagi besok?"
"Kasihan bapak juga sih. Tanya bapak saja"
"Ke rumah sakit lain saja ya pak? Dari pada pulang enggak bawa obat?"
"Ya sudah. Tidak apa-apa..."

Bapak di bawa ke rumah sakit lain. Sekitar setengah kilo dari rumah sakit pertama. Lebih kecil tapi setidaknya bisa pulang membawa obat.

Sampai di rumah sakit. Antri sebentar. Tinggal menunggu dokter. "Alhamdulillah... dokternya ada..."
Selang beberapa jam satu persatu mendapat panggilan.

Di ruang praktik, bertemu dokter. Bapak ditanya mengenai keluhannya.
"Bagaimana dok...?"
"Bagaimana apanya?"

"Kok apanya, ya sakit bapak. Kira-kira bapak sakit apa?"
"Ya kalau ingin tahu harus dicek satu per satu?"
"Ya, kira-kira. Atau mungkin kemungkinannya apa gitu dok?"

"Tidak bisa. Kalau ingin tahu ya harus dicek semua. Tidak bisa kira-kira. Bagaimana apa mau dicek langsung?"

"Cek itu apa saja dok?"
"Semua, USG, Rontgen, cek darah dan lainnya..."
"Waduh..."

"Ya begitu. Terus bagaimana ini. Apa mau dijadwalkan untuk dicek?"
"Begini saja dulu dok. Kita minta obat dulu. Supaya kita siapkan dulu. Besok kita bisa ke sini lagi untuk selanjutnya.... Bisa kan dok?"

"Ya sudah kalau begitu. Saya buatkan resep saja ya. Saya kasih resep untuk keluhan di perutnya saja", ucap dokter itu. "Iya dok...", jawab anak bapak yang mendampingi.

Lega, setidaknya sedikit. Bapak pulang membawa obat yang diberikan dokter.

Sore hari. Perjalanan pulang tampak sedikit sunyi. Semua lebih banyak diam. Terlarut dengan kemungkinan - kemungkinan yang tak pernah bisa dibayangkan.

---oOo---

Sampai di rumah. Tak ada sinar cerah di tatapan itu. Bapak tampak begitu letih. Ada kesedihan dan rasa takut yang dalam di sorot mata itu.

"Sabar Pak... sekarang minum obat ini dulu. Besok kita usahakan periksa lagi kalau dokternya sudah ada.

Dengan sabar, tanpa ada pilihan, bapak meminum obat itu. Beberapa keluhan bisa berkurang. Tapi perut tetap sama. Buncit seperti orang hamil 9 bulan.

Hari demi hari, tidak ada tanda lebih baik. Keluarga memutuskan untuk membawanya lagi ke rumah sakit pertama. Yang resepnya membuat perut kempis dan normal kembali. Yang dokternya waktu itu sedang cuti.

Sore hari. Keluarga sibuk. Telfon saja sini. Mereka tidak mau kecolongan lagi.
"Telfon dulu saja. Ada atau tidak. Jangan sampai seperti kemarin..."
"Iya... mas aja yang nelpon. Ini nomornya..."
"Ya sudah..."

Berkas, semua disiapkan. Jadwal dokter di cek kembali. Bapak pun diantar lagi ke rsud. Alhamdulillah. Dokter penyakit dalamnya ada.

Singkat cerita, setelah antri, bapak bertemu dokter. Ditemani anaknya. "Hari ini bapak USG ya..." Dokter langsung meminta keluarga untuk mengurus.
"Nanti kalau hasilnya sudah keluar langsung di bawa ke sini lagi. Kita lihat hasilnya..."

Menjelang sore hasil USG keluar. Tidak ada masalah di perut. Tak ada kesimpulan sakitnya apa. Akhirnya bapak pulang dengan obat yang harus dihabiskan.

Satu minggu. Obat habis tapi perut tidak kempis. Hanya berkurang sedikit. Bapak menebus obat lagi di puskes. Obat yang sama seperti yang diresepkan dokter. 

---oOo---

Waktu terus bergulir. Bukannya sembuh, bapak merasakan semakin banyak keluhan. Meski begitu, ia masih kuat berdiri. Kuat berjalan.

Lemas. Itu yang paling sering ia keluhkan. Selera makan pun berkurang. Karena perut yang bengkak. Entah kenapa.

Pengobatan berlanjut. Bapak kembali berkunjung ke dokter. Di rumah sakit yang sama.

Tidak ada pemeriksaan lebih lanjut. Dokter langsung menyarankan bapak untuk dirujuk ke rumah sakit yang lebih besar.

Ascites. Melalui rujukan yang diberikan itulah keluarga tahu apa yang dialami bapak. Ya, ascites. Itu diagnosa dokter untuk gejala penumpukan cairan di tubuh.

Ascites ini adalah akibat. Dari sakit utama yang diderita. Penyebabnya, tidak bisa ditebak. Harus uji lab untuk mengetahui apa yang menyebabkan terjadinya ascites.

Dengan kondisi perut buncit seperti orang hamil sembilan bulan - menderita ascites - bapak pun dirujuk untuk penanganan lebih lanjut. Di rumah sakit umum propinsi. Yang lebih besar.

---oOo---
Previous Post
Next Post
Related Posts

0 komentar: