Rabu, 21 Agustus 2019

Pijat dan Jamu Tradisional untuk Obat Hepatitis B

Pijat dan Jamu Tradisional untuk Obat Hepatitis B - Tidak mudah berusaha konsisten dalam menyebuhkan penyakit. Apalagi penyakit hepatitis b yang tergolong berat. 
Pijat dan Jamu Tradisional untuk Obat Hepatitis B
Daun Serut yang Sudah Dikeringkan
Dari ranting ke ranting harapan disematkan untuk menembus angkasa pengampunan. Medis non medis, semua harus dikerjakan. Demi untuk kesembuhan.

Giliran pengobatan tradisional. Yang menjadi harapan. Setelah pengobatan lain tak sesuai harapan. Harus. Bertahan, semangat mengais kesembuhan. 

Berangkat dari informasi beberapa rekan, handai taulan. "Kemarin si A seperti bapak sembuh. Ikut terapi disana" 

Seorang saudara memberikan saran. "Disana diurut, pijat dengan minyak yang sudah disiapkan"

Mau bagaimana lagi. Lagi pula pengobatan yang sudah dijalani pun belum maksimal. 

"Tidak ada salahnya kan dicoba..." sarannya. Benar memang. Tidak salah mencoba. Tapi untuk keadaan genting seperti ini, untuk masalah kesehatan apa tidak berbahaya?

---oOo---

Setelah ditimbang, akhirnya kami sepakat. Mengajak bapak untuk berobat tradisional. Sekali lagi. Di tempat berbeda. 

Tidak terlalu bersemangat. Tapi beliau bersedia. Mungkin hanya untuk menyenangkan anak-anaknya. Mungkin.

Berangkat pagi. Kami sampai di lokasi jam 10 siang. Setengah jam menunggu. Kami dipersilahkan masuk ke ruangan. 

Tanpa basa-basi bapak langsung dipijat. Seluruh tubuh. Yang terbanyak bagian kaki. 

Setelah selesai kami diminta menebus obat, jamu tradisional. Tiga jenis bahan. Ada daun kluwih. Ada gula batu dan daun serut. Harganya masing-masing 50 ribu. Jadi satu paket 150.

Bahan tersebut direbus. Disedu seperti teh. Diminum hangat dua gelas sekali minum. Setelah jamu habis harus datang lagi. Untuk pijat dan menebus bahan jamu lagi

"Nanti bapak akan buang air besar terus. Bahkan muntah. Kalau sudah insyaalloh bapak akan baikan."

Percaya tidak percaya. Tapi hanya itu harapan. 

---oOo---

Sekitar 2 minggu. Jamu habis. Kondisi bapak tidak lebih baik. Kelihatannya semakin serius. 

Beliau sudah tidak bisa bangun. Hanya kuat menggerakkan tangan. Wajahnya sayu. Pucat. Tubuhnya sangat lemah. 

Tadinya kami masih berniat membawanya terapi. Tapi diurungkan. Dengan sangat terpaksa kami hanya menebus jamu. Sambil berharap fisik bapak berangsur pulih.

"Nanti kalau fisik bapak agak kuat kita bawa lagi"

Kami tebus jamu dua paket sekaligus. Supaya ada jeda agak lama. Dengan sabar kami memberi bapak jamu tersebut. Sedikit, sedikit. Dua atau tiga sendok. Meski harusnya minimal satu gelas sekali minum.

Lama kelamaan bapak mulai tak semangat lagi. Semakin susah. Kadang sehari setengah cangkir saja tidak habis. 

Harapan pun terkikis. Tak sesuai keinginan. Kami mulai bertanya, "apa perlu diteruskan lagi?"
Enam paket jamu akhirnya habis tanpa memberikan hasil. "Enggak ada efeknya"

"Kalau berhenti, mau diobati apa lagi? Tidak ada pilihan lain. Apa tidak sebaiknya dilanjutkan terus?" Akhirnya, pijat dan jamu tradisional diteruskan setengah hati. 

---oOo---

Selasa, 20 Agustus 2019

Rebung Bambu Kuning dan Remis untuk Hepatitis B

Rebung Bambu Kuning dan Remis untuk Penyakit Hepatitis B - tak menyerah. Kami terus berusaha menyembuhkan penyàkit hepatitis b yang bapak derita. Medis dan alternatif, obat tradisional juga kami usahakan.
Rebung Bambu Kuning dan Remis untuk Penyakit Hepatitis B
Ilustrasi Tanaman Bambu

Kami tak lelah. Berburu saran dan pengalaman dari orang lain. Meski kadang ragu.

"Siapa yang sakit bang...?" Aku membuka percakapan dengan seorang pria yang duduk disebelah kiri. Yang sama-sama menunggu diruang antrian. 

Di rumah sakit daerah. Yang sepi dan suasananya tenang. Ramah tamah, agar tidak dicap sombong. Aku menyapa, sekedar basa-basi. 

Sebenarnya lelah. Pusing. Jangankan untuk ngobrol, sama orang yang tak dikenal, untuk bicara sama keluarga saja rasanya gak enak. Apalagi kalau enggak penting. Tapi... toh aku menyapa. 

"Ibu... hanya mau minta rujukan saja"
"Oh... sama kalau begitu. Saya juga hanya minta rujukan"

"Rujukan untuk siapa?"
"Bapak... sakit hepatitis. Mau endoskopi."

"Ow... dulu ibu juga hepatitis, sembuh dengan rebung bambu kuning dan remis..."
"Rebung sama remis bang?"

"Iya... benar. Jadi sehari-hari ibu hanya makan itu."

Pembicaraan kami singkat. Terhenti ketika nama bapak dipanggil. Kami masuk ruang dokter. Sepuluh menit kemudian kami sudah mendapatkan rujukan dari rumah sakit tipe c.

Urusan selesai. Setelah istirahat sebentar kami langsung pulang. Menggunakan sepeda motor berboncengan. 

---oOo---

Sehari di rumah sakit umum daerah di kabupaten, kami mendapatkan regerensi baru. Pengobatan alternatif penyakit hepatitis b. Itu berarti harapa baru untuk sembuh. 

"Bu.... ada saran untuk konsumsi rebung bambu kuning dan remis. Gimana?"
"Kata siapa?"

"Kemarin. Di rumah sakit. Kata orangnya sih sembuh benar..."
"Kira-kira bisa enggak dengan obat bapak?"

"Mudah-mudahan bisa. Apa salahnya dicoba..."
"Ya sudah. Dicari saja. Tanya bapak dulu..."

"Iya... nanti aku tanya bapak mau apa enggak..."

Bapak setuju. Berdampingan dengan medis, kita pakai tradisional. Herbal. Hari itu juga aku langsung sebar info, cari rebung bambu kuning untuk obat hepatitis b. Dan remis juga.

Semangat menggebu. Harapan menebal, meski ternyata rebung bambu kuning ternyata tak mudah ditemukan.

"Dulu banyak mas.... sekarang sudah jarang...."
"Oh ya sudah. Makasih ya bu atas informasinya."

"Iya mas... sama-sama"

Aku tak putus asa. Semua keluarga aku beri tahu. Dibantu istri, aku juga terus berusaha sekuat tenaga.

"La itu ada kalau bambu kuning...", aku kaget ketika mertua ku bilang ada bambu kuning di dekat rumah. 

"Ada benar pak. Dimana? Ada rebungnya tidak ya?" Tanyaku bersemangat.
"Banyak... mau dibawa kapan, nanti bapak petik", ucapnya. 

"Ya kalau bisa hari ini juga pak.... "
"Ya sudah..."

Mertua ku sepertinya juga semangat. Membantu. Mungkin beliau tahu bagaimana pusingnya anak menantunya dengan keadaan itu.

Bagaimanapun, alhamdulillah. Akhirnya aku dapat. Sore itu, dengan sekitar 7 buah batang rebung bambu aku meluncur ke rumah bapak. 

"Pak... dapat rebungnya. Nanti minum rebusan rebung itu ya"

Bapak tak menjawab. Ia hanya mengangguk lemas. Aku pun menghela nafas panjang.

---oOo---

Magrib di hari minggu. Keluarga berkabung. Kondisi bapak semakin kritis. Lemah. 

Hari - hari hanya berbaring. Sudah tak kuat jalan. Beberapa kali drop. Bakan sampai pakai popok dewasa.

"Bagaimana ini... enggak ada perubahan mas...?"
"Ada perubahan pu kita enggak tahu. Bapak kan sudah agak parah. Minum obat sebulan enggak mungkin bisa langsung sembuh."

"Ya bagaimana"
"Rebung bambu kuning dilanjutkan dulu. Sambil cari remis. Kalau bapak enggak tambah parah kita lanjutkan lagi."

Dengan sabar kami terus berusaha. Sekitar satu bulan, rebusan rebung bambu kuning kami berikan. Tapi kondisi bapak tidak membaik. 

Tapi kami masih berharap. Berharap kandungan rebung bambu kuning dan remis bisa mencegah penyakit hepatitis b bapak lebih parah.

---oOo---

Senin, 19 Agustus 2019

Berobat ke Orang Pintar untuk Penyakit Hepatitis B

Berobat ke Orang Pintar untuk Kesembuhan Penyakit Hepatitis B - Berobat ke "orang pintar", demi untuk sembuh dari penyakit hepatitis b juga dijalani. Sekedar ikhtiar. Berusaha dan meminta kesembuhan kepada Alloh SWT.


Demi bapak. Kami kesampingkan semua ego. Saling bahu mencari pengobatan yang bisa menyembuhkan bapak. 

Meski sudah banyak yang gagal. Kami tak menyerah. Selagi bapak setuju. Selagi bapak mau, kami usahakan segalanya.

Dengan berbagai usaha, kami jalani. Terakhir dengan obat herbal. Tak ada perubahan. 

"Coba di bawa ke orang pintar mas. Bapak kan suka kerja jauh. Siapa tahu ada yang enggak beres..."

Salah satu saudara jauh menyarankan untuk membawa bapak ke orang pintar, semacam dukun atau paranormal.

"Suruh cari orang pintar katanya...."
"Lah... bapak pasti enggak mau...."

"Coba aja... cari yang bukan dukun. Yang pakai tradisional saja. Jangan yang pakai jampi-jampi..."
"Ya besok... katanya di dekat rumah sakit kemarin ada. Coba nanti tanya-tanya dulu"

Karena semua pengobatan nihil kami pun mencoba ke alternatif. Kami cari informasi kesana ke sini. 

Jerih payah pun berhasil. Ada satu pilihan orang pintar. Kami pun segera menanyakan kesediaan bapak. 

"Iya...", bapak setuju setelah kami jelaskan bahwa yang akan didatangi bukan dukun seperti kebanyakan. 

Bisa dikatakan semacam tabib dengan jamu tradisional.

Tak menunggu lama. Dua hari berselang kami berangkat sesuai petunjuk orang yang mengenalkan. 

Sampai disana kami disambut. Dan ternyata diluar dugaan. Bapak hanya dido'akan lalu diberi air putih. Setelah itu boleh pulang.

Sebelum pulang kami dibawakan sesuatu. "Sampai di rumah ini dibakar diatas sabut kelapa. Asapnya ditiupkan sampai ke seluruh tubuh..."

Jelas kami kecewa. Tidak sesuai dengan apa yang kami bayangkan. Tapi kami sudah sampai disana. Kami pun tidak mau mengecewakan keluarga yang berusaha. 

Keinginan sembuh yang kuat mengalahkan ego. Tanpa mengalahkan keyakinan yang tertanam di hati.

Tentu hanya kesembuhan yang kami harapkan. Tak lelah, tak mau mengeluh.

Sore, sekitar jam 3. Kami sampai rumah. Ramuan jamu segera disedu. Sekalian menyiapkan bahan yang harus dibakar di atas sabut kelapa.

Sembari menunggu, bapak istirahat. Beliau tampak begitu letih. Tapi ada harapan besar yang terpancar dari sorot matanya.

Dengan ikhlas, pengobatan ini dijalani. Memohon kepada Alloh SWT. Lewat perantara ini penyakit hepatitis b bapak bisa sembuh.

Satu minggu berlalu. Tidak ada perubahan yang tampak. Semangat sembuh mingkin masih kuat. Tapi fisik kian lemah, perlahan.

Betapapun besarnya harapan kami, pengobatan alternatif di orang pintar tidak memberikan hasil memuaskan. Hati kami pun mamang.

---oOo---

Minggu, 18 Agustus 2019

Jamu Tradisional untuk Mengobati Penyakit Hepatitis B

Jamu Tradisional untuk Mengobati Penyakit Hepatitis B - Kunyit putih dan temu lawak, bahan jamu yang kami gunakan untuk mengobati hepatitis B. Darah serasa mendidih. Emosi tak berkesudahan melihat kondisi penyakit hepatitis b yang tak juga baikan. Kesembuhan seolah mustahil.
Jamu Tradisional untuk Mengobati Penyakit Hepatitis B
Ilustrasi Bahan Obat Tradisional
Dari sisi medis, tak ada berita bahagia. Yang ada hanya vonis. Tidak akan sembuh. Mau apa lagi, apa harus berhenti?

Tidak mungkin. Manusia lahir untuk merubah hidup. Karena itu kami cari jalan lain.

Herbal, pengobatan tradisional menjadi alternatif. Menjadi pengharapan baru. Untuk mengusir penyakit hati itu yang katanya tak bisa sembuh.

---oOo---

Sembilan tiga puluh empat, pagi yang dingin diselimuti kabut. Aku dan bapak. Duduk di sofa biru. Berbincang.

"Perutnya sakit enggak pak...?", tanyaku memijit tangan bapak yang kering tanpa daging. "Enggak...", jawabnya singkat. 

Tak seperti biasanya. Bapak lebih banyak diam. Kadang memandang ke depan. Kadang kosong. Hanya tangannya yang lebih terampil, mengelus perutnya yang buncit. Yang seperti orang hamil itu. 

Sesekali ia merubah posisi duduknya. Sedikit lebih miring, agar tidak ada tekanan pada perutnya yang penuh.

Melihat bapak seperti itu, sakit rasanya hati ini. Apalagi beliau sudah tak ceria lagi. Tampak tak semangat.

Kuberanikan diri menatap wajahnya. Wajah yang layu itu. Tanpa ekspresi. Dahinya yang mulai keriput berkerut. Sorot matanya layu. Seolah berusaha menjangkau batas alam. Mencari jawab, kenapa.

Tampak keraguan. Ada ketakutan, kekhawatiran... pasrah.

"Sabar ya pak...", ucapku sambil mengenggam tangannya. Saat seperti itu tak ada yang bisa kami lakukan. Kami harus menjangkau hatinya, perasaannya.

"Pak.... besok kita buat obat herbal ya. Untuk tambahan obat dari rumah sakit..." aku menyampaikan niat kami. "Iya...", beliau menjawab singkat. 

Aku kemudian tak melanjutkan. Tidak mungkin. Suasana hati bapak tidak mendukung. Akhirnya aku putuskan menemaninya saja. Dengan hal ringan.

---oOo---

Hari berlalu. Lambat. Tak ada tanda menggembirakan. Pengobatan yang dijalani seolah tak berguna. Mungkin memang tak berguna. 

"Kunyit putih dan temu lawak, itu bagus... untuk jamu...", adalah paman jauh yang menyarankan. 

Dia menyarankan untuk menjalani pengobatan tradisional dengan jamu herbal. Pakai herbal karena dari medis sepertinya tidak sesuai harapan. 

Apa saja, "coba temu lawak dulu. Atau cari lain yang herbal", nasehat paman. Keluarga setuju. Pengobatan herbal dengan ramuan jamu dari temu lawak dan kunyit putih.

Kami menahan diri. Bersabar dan mengatur dengan baik. Pengobatan medis didampingi herbal. Yang terukur. Dijalani beberapa waktu. Berharap ada harapan.

---oOo---

Sabtu, 17 Agustus 2019

Ekstrak Ikan Gabus Pengganti Albumin untuk Mengendalikan Ascites pada Hepatitis B

Ekstrak Ikan Gabus Pengganti Albumin untuk Mengendalikan Ascites pada Hepatitis B - Albumin adalah salah satu protein yang dihasilkan organ hati. Ekstrak ikan gabus bisa dijadikan sumber albumin yang bagus untuk bapak.
Ikan Gabus untuk Penderita Penyakit Hepatitis B
Apalagi dengan kondisi ascites seperti ini. Begitulah kurang lebih penjelasan perawat ketika mengontrol kondisi bapak pagi itu.

Aku diam. Mencoba menerka jauh berbagai kemungkinan. Ibu hanya memandang bingung.

Kondisi bapak yang menderita hepatitis b memang sudah semakin berat. Fisik sudah semakin lemah. Organ hatinya mungkin sudah tidak berfungsi sama sekali. Mungkin.

---oOo---

Peluh menetes melawan udara dingin yang berhembus. Meski riuh, pagi sebenarnya terasa begitu sejuk. Mentari baru sejengkal. Kendraan baru mulai berjalan.

Di pojok ruang aku duduk mengapit berkas. Ibu duduk disisi bawah ranjang. Tepat dibagian ukung kaki bapak yang sedang berbaring. 

Pintu ruang sengaja ditutup. Agar tidak riuh meski terbuka celahnya. Dari celah dain pintu, terlihat petugas kebersihan. Sibuk, lalu lalang membersihkan lantai. 

Mulai dari kamar paling ujung. Berurutan. "Maaf ya bu... dibersihkan dulu" sesekali terdengar suara petugas itu. 

Disapu. Dipel. Masih setengah basah. Terdengar suara - suara sepatu berdecak. "Alhamdulillah... mulai diperiksa", gumamku tak sabar menunggu petugas kesehatan. 

Hari ini dokter lebih pagi. Hanya didahului beberapa petugas jaga yang cekatan.
Tanpa basa-basi. Dokter beraksi. Bertanya keluhan kemudian memberikan tanggapan.

"Sudah stabil. Hari ini nanti saya kasih albumin ya. Mudah-mudahan besok bisa segera pulang", ucap sang dokter.

Benar. Setelah dokter keluar, seorang perawat datang langsung menuju ke bapak. 

"Diganti obat ya pak... obatnya ini mahal loh...", ucapnya sambil mengganti infus dengan sebuah botol kecil.

Entah apa yang ada dipikiran kami. Kami hanya bisa diam. Obat mahal bukan berita gembira karena hasilnya kami tak tahu lagi.

Sepuluh menit. Perawat selesai menganti infus itu. Selanjutnya, kami hanya bisa menunggu.

---oOo---

Mendung menggantung di atas rumah sakit. Udara berhembus dingin mengawali pagi. Jam tujuh, terasa subuh. 

Perlahan, sunyi menjadi riuh. Rumah sakit bergeliat. Menunjukkan kesibukannya. 

"Apa yang dikeluhkan hari ini pak?"
"Perut dok... masih sesak..."

"O... iya... coba kita periksa dulu ya..."

Setelah beberapa menit memeriksa, dokter menyatakan bapak boleh pulang. Perawatan dilanjutkan dengan rawat jalan. 

"Tunggu berkas sama obatnya ya pak...", pesan dokter sebelum meninggalkan ruangan.

---oOo---

Matahari mendaki cepat di ketinggian. Pukul satu siang kami pulang. Dengan sedikit kesimpulan, "albumin."

"Bapak ini butuh albumin. Bisa dari makanan. Sehari 10 butir telur ya. Harus"

Pesan dokter ahli gizi tersebut ditambah saran untuk konsumsi ikan gabus menjadi rujukan. Hari - hari berikutnya, kami berjuang keras. Mememuhi kebutuhan albumin bapak. 

"Biasanya banyak... tapi ya ikan gabus memang gak tentu..."
"Pakai ekstrak saja, gimana?"

"Memang ada?"
"Pasti ada... besok coba cari..."

"Tapi kan mahal mas....?"
"Coba cari dulu. Sekalian. Cari ikan gabus, ekstraknya untuk cadangan"

Awalnya terlihat mudah, ringan. Ternyata berat. Kami pesan ke semua orang. Keluarga, saudara bahkan tetangga. "Kalau ada ikan gabus ya... buat bapak..." kami terus mencari.

Dulu, dulu sekali. Ikan gabus atau kutuk banyak sekali. Sekarang sangat sulit. Dua kali seminggu, pagi buta aku ke pasar. Cari ikan gabus untuk albumin bapak. 

Nihil. Hampir di setiap pasaran tidak ada ikan gabus. Akhirnya pilihan jatuh pada ekstrak ikan gabus.

"Nih... ekstrak ikan gabus. Sehari satu kali. Buat tambahan..." 

"La itu dapat dari mana?"
"Dapat di apotek. Cuma ada ini. Besok sudah pesan lagi."

"Bagus ikan gabusnya langsung sih sebenarnya..."
"Iya sih. Tapi ikan gabusnya kan susah. Enggak pasti dapat."

---oOo---

Hari - hari berikutnya semakin sulit. Ekstrak ikan gabus juga masih jarang. Harganya juga lumayan. Enam puluh dua ribu untuk satu papan isi 10 butir. Padahal paling tidak bapak harus minum 6 butir sehari.

Sepuluh hari pertama, hasilnya lumayan. Berikutnya kami beli dua papan ekstrak ikan gabus, dua kali sehari. Agak lebih baik. Beberapa hari, bapak mulai bisa jalan. Fisiknya agak lebih kuat. 

Tapi perjuangan belum berakhir. Mencari ikan gabus atau ekstrakya tidak bisa cepat. 
Dua papan ekstrak ikan gabus yang dibeli sudah habis. Sementara di apotek belum ada.

"Benar ya mbak... saya pesan. Pasti diambil."
"Iya mas..."

"Kira-kira kapan mbak?"
"Enggak pasti mas. Tunggu selles datang..."

Ekstrak ikan gabus sudah habis. Padahal hasilnya lumyan. "Harusnya bapak bisa dua butir sekali minum. Jadi perutnya enggak tambah besar...", ucapku.

"Ya tapi enggak ada perubahan kok...?" Jawab ibu.

"Ya enggak ada. Kalau kebutuhan albumin tercukupi terus, baru perut bapak enggak tambah besar."

Yakin, aku yakin ekstrak ini bermanfaat menambah albumin bapak. Buktinya bapak tidak mengeluh. Perutnya juga stabil. Tidak tambah besar. 

Harus. Kalau ingin bapak bertahan maka albumin wajib. Bisa dibantu ekstrak ikan gabus untuk mengendalikan ascites-nya. Harapannya, tubuhnya bisa melawan penyakit hepatitis b yang ada.

---oOo---

Jumat, 16 Agustus 2019

Lendir dan Daging Bekicot untuk Mengobati Penyakit Hepatitis B

Lendir dan Daging Bekicot untuk Mengobati Penyakit Hepatitis B - Di tengah harap yang kian kabur. Masih belum menyerah. Kami terus menggapai kesembuhan penyakit hepatitis b yang bapak derita. Tak peduli bagaimana pun susahnya.
Lendir dan Daging Bekicot untuk Mengobati Penyakit Hepatitis B
Mengobati Penyakit Hepatitis B dengan Bekicot
Medis non medis. Terpenting ada progres, bapak bisa lebih baik. Satu gagal, kami beralih ke yang lain. Tak sehari pun terlewatkan tanpa mencari obat penyakit hepatitis b yang bapak derita itu.

---oOo---

"Bekicot itu bagus mas. Hepatitis b itu kan penyakit liver kalau kata orang dulu." Karena lewat medis seolah tiada harapan, kami lebih fokus ke herbal. Pengobatan tradisional.

Mau bagaimana lagi.

Wajibnya manusia adalah berusaha. Maka fonis dokter pun harus diabaikan. Tak boleh kalah. Masih ada cara lain.

"Coba daging bekicot ya pak?", aku mencoba meminta persetujuan bapak. Memberikan pemahaman yang mungkin diperlukan. Demi kesembuhan.

"Lah.... semua ya bilang ini itu. Bekicot loh mas.... jijik..."
"Obat kan datangnya bisa dari mana saja. Hanya lantaran saja, perantara."

"Ya kalau bapak mau...."
"Dari pada hanya pasrah. Lebih baik berusaha saja."

Perang pemikiran. Saran dan gagasan harus dipertimbangkan. Tak boleh abai dalam mencari kesembuhan dari penyakit. Semua harus menahan diri. Menahan ego dan berpikir bersih.

Yang terpenting adalah terus berusaha. Tanpa putus asa. Karena itu kami terus mencoba. Aku utarakan niat dan keinginan. "Kalau bapak mau, nanti aku cari....", ucapku pada beliau.

Setelah berperang dengan perdebatan, analisa dan kemungkinan, kami pasrah. Mencoba alternatif penyembuhan dengan daging bekicot.

"Tidak usah banyak-banyak. Coba dimakan beberapa kali. Siapa taju jodoh...", ucapku.

Meski kami berharap tapi kami juga tak mau ambil resiko. Apalagi mengenai kesehatan. Kami terus memantau. Detik dan menit perubahan. Meski kecil sekalipun.

---oOo---

Seminggu, dua minggu. Meski tak rutin tapi beliau berupaya sembuh dari hepatitis b itu. Menahan ego.

Beberapa lama mengonsumsi bekicot tak tampak perubahan apapun. Tidak sama sekali. Tak ada perkembangan yang kami lihat.

"Gimana pak... ada perubahan enggak yang dirasa...", aku mencoba mengorek informasi. Tapi beliau lebih banyak diam. Tak banyak reaksi.

Dari ucapan beliau, sepertinya lebih enak. Tapi tidak jika melihat kondisi tubuhnya. Kami yang melihat merasa sama saja.

Sulit melihat perubahan dalam kondisi seperti itu. Kami, keluarga benar-benar tidak tahu perkembangan atau pengaruh daging bekicot bagi penderita hepatitis b.

Meski begitu kami tetap berharap. Berharap ada perubahan yang lebih baik.

Karena harapan itulah aku mengambil resiko. Mencoba bertahan, melakukan pengobatan alternatif dengan daging dan lendir bekicot.

---oOo---

Waktu terus bergulir. Tak peduli dengan keluh kesah hati kami. Harapan semakin tergerus. Bapak tidak menunjukkan perubahan berarti. Tekad dan harapan sembuh dengan bekicot pun mulai luntur.

Perutnya mulai menolak. Mulutnya tak bisa lagi dipaksa menelan lendir bekicot. Kami pun tak tega memaksa.

Hanya sekali. Atau mungkin dua kali beliau menelan lendir itu. Sisanya hanya daging yang diolah sederhana. Dibakar.

Selang waktu berjalan, harapan itu pun ditinggalkan. Tanpa kesan mendalam. Lendir dan daging bekicot tak lagi jadi pilihan.

---oOo---

Kamis, 15 Agustus 2019

Bapak Sakit Hepatitis B Kronis, Haruskah Ikhlas Berhenti Berusaha?

Ikhlas Ayah Sakit Hepatitis B Kronis, Haruskah Berhenti Berusaha? Sakit. Sudah jadi ketetapan. Rahasia Tuhan. Tua muda, miskin kaya, semua dapat giliran. Harus ikhlas menerima. Harus sabar menjalaninya.


Apapun itu. Penyakit ringan atau berat. Sekedar batuk pilek atau penyakit serius. Penyakit berat seperti hepatitis sekalipun. Harus diterima.

Ya pasti. Mau tidak mau. Siapa yang bisa menolak. Siapa yang bisa lari dari takdir. Ketetapan Tuhan. Tak satupun.

Penyakit hepatitis B, katanya, banyak diderita oleh kalangan ekonomi lemah. Katanya tidak ada obatnya. Tidak bisa disembuhkan.

Mau bagaimana lagi. Sedang diuji. Sedang diingatkan. Penyakit hepatitis b atau liver ini tak bisa dihindari. Harus dihadapi. Oleh yang sakit. Atau keluarga yang sakit.

---oOo---

Langit hitam. Gemericik hujan masih membasahi semesta bumi. Angin yang pelan masih menusuk ke tulang. 

Sore. Jam lima sepuluh menit. Langit menangis. Deras. Melarutkan debu jalanan. Membasahi pelataran.

Kusut. Pria 30 tahunan duduk mendekap kaki. Matanya menelisik ngerimis. Sinar matanya mengejar rintik hujan. Bagai tangan menyergap.

Di tangan kirinya. Hp android. Tipe samsung. Berkedip. Berkedip. Berdering semakin nyaring.
"Mas... bapak ngedrop lagi...", suara di seberang telepon terdengar nyaring.
"Ngedrop.... enggak mau makan lagi ya?", tanya pria itu cepat.

"Iya... ", jawab suara itu.
"Ya sudah mas segera ke sana..."

Seketika hati berubah gusar. Ini yang kesekian kalinya. Kondisi tubuh bapak drop. Awalnya mengeluh perutnya panas. Pungung sedikit nyeri.

Mulai tak mau makan. Kemudian lemas. Mata selalu terpejam. Seperti tidur. Tapi tak tidur.
Kalau sudah begitu keluarga tak bisa berbuat banyak. Bingung.

"Ya Alloh... mau bagaimana ini..."
"Apa kita bawa ke rumah sakit lagi Bu...?

"Kamu kan ingat. Ucapan dokter gimana..."
"Iya sih.... tapi apa kita biarkan seperti ini saja. Pasrah tanpa usaha?"

Suasana hening. Ruangan menjadi sangat dingin. Semua tegang. Cemas dan bingung.
"Seandainya saja kita punya cukup uang..." ujar pria itu lirih. 

Waktu bergulir lambat di rumah itu. Tak ada sedikitpun cahaya yang masuk. Suram, seperti suasana hati seluruh penghuninya.

"Kakang drop lagi apa yuk?"
"Ya itu... seperti itu. Dari kemarin."
"Kayak minggu kemarin... antara sadar dan tidak..."

"Sabar yuk.... kakang sudah seperti itu. Udah dibawa kemana-mana tapi enggak ada perubahan sama sekali...."

Dua hari. Berlalu dengan sangat berat. Kegundahan itu semakin tak tertahan. Semua keluarga gusar melihat perubahan kondisi bapak.

"Kita bawa ke rumah sakit lagi..."
"Bawa bagaimana.... sadar aja tidak"

"Kasihan bapak...."
"Sudah... kita cari mobil saja... siapin berkas-berkasnya"
"Enggak ada mobil yang bisa dipakai mas...."
"Sabar... istighfar.... bapak sudah seperti itu. Kasihan. Di ikhlaskan saja. Kita rawat di rumah saja."

---oOo---

Dada itu bergemuruh. Keringat dingin mengalir. Mencoba menutupi hati yang terbakar. Ada bara api yang memancar dari sorot itu. Amarah.

"Ikhlas.... bicara ikhlas ya pasti ikhlas. Tapi manusia kan wajib ikhtiar. Berusaha sekuat tenaga." Pria itu menghela nafas dalam-dalam. 

"Apa mau didiamkan begitu saja. Ditunggu sampai mati sendiri...!" Tak ada yang bisa menyahut. Semua diam. Membisu.

---oOo---